Minggu, 16 Mei 2010

Generasi Muda Penerus bangsa

Sering kita mendengar atau membaca pernyataan begini: generasi muda adalah penerus bangsa. Pernyataan seperti ini sering keluar dari mulut seorang tokoh publik. Biasanya itu diucapkan ketika memperingati peristiwa sejarah berkaitan dengan peran generasi muda. Pertanyaannya: apa benar generasi muda penerus bangsa?
Kalau asumsinya bahwa generasi muda sekarang pastilah kelak berperilaku baik dan berkeinginan mempertahankan kelangsungan hidup berbangsa, pernyataan itu bisa jadi benar. Tapi, kenyataannya, yang disebut generasi muda itu tidaklah tunggal dan statis. Aspirasi dan keinginan mereka bisa saja berkembang seiring perjalanannya. Sikapnya terhadap bangsa pun bisa saja berubah. Misalnya, sebagai individu atau kelompok, ada bagian dari generasi muda sekarang yang merasa bangsa yang sekarang tak perlu diteruskan.
Tapi, kenapa hal itu bisa mungkin? Pertama, jika sebagian generasi muda merasa bahwa kebijakan pembangunan yang berlangsung sekarang telah menempatkan mereka pada posisi yang diperlakukan secara tidak adil, alias didiskriminasi. Kedua, sebagian generasi muda merasa bahwa hukum telah diberlakukan secara tidak sama. Buat orang kaya dan berpunya, hukum bisa terasa lunak. Sementara buat mereka yang miskin dan tak punya apa-apa hukum diperlakukan secara keras.
Dalam kaitan itu, sebagian generasi muda merasa hidup berbangsa dalam payung negara Indonesia ternyata bukan buat mereka. Negara ternyata hanya melayani sebagian anak bangsa, tapi bukan mereka. Generasi muda yang merasa seperti ini bisa jadi akan memilih sikap bahwa bangsa dan negara Indonesia ini tak layak dipertahankan. Mereka merasa lebih baik membuat atau membangun bangsa dan negara sendiri.
Sikap lebih lunak dari itu adalah melakukan tindak kriminal, mengganggu keamanan dan ketenangan masyarakat atau bahkan menjadi teroris.
Karena itu, pernyataan di atas sekadar retoris sifatnya bahkan omong-kosong jika tidak diikuti oleh perbuatan yang mengarah pada pengembangan hidup berbangsa dan bernegara yang berkeadilan. Pernyataan itu bisa jatuh sekadar menjadi ideologi untuk menutupi realitas ketidak-adilan yang terjadi dalam hidup berbangsa.
Pesan buat mereka yang suka mengumbar pernyataan-pernyataan semacam, baiklah kiranya jika perhatian dan kerja diarahkan pada pengembangan hidup bersama yang berkeadilan dan jauh dari diskriminasi. Mengulang-ulang sesuatu yang kosong bukan tidak mungkin malah memunculkan sesuatu yang tidak diinginkan, misalnya rasa muak pada generasi muda melihat perilaku elite dan tokoh politik yang cuma bisa memprovokasi dan menghasut – tapi tidak melakukan sesuatu yang nyata.
Barangkali kata bijak “diam adalah emas” bisa dicoba. Tokoh dan elite politik sebaiknya diam saja. Tidak usah membakar-bakar rasa kebangsaan atau nasionalisme kalau ketimpangan dan ketidak-adilan sosial-ekonomi belum bisa dipecahkan, halah…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar